Riau - PT Chevron Pacific Indonesia digugat legal
standing oleh aktivis lingkungan di Riau. Perusahaan migas asal Amerika
itu dituding membuka ladang minyak di kawasan konservasi.
Gugatan itu didaftrakan LSM Riau Madani ke Pengadilan Negeri (PN) Dumai, dengan nomor gugatan, No18. Pdt-6/20/2/PN-Dum pada 5 April 2012 lalu. Menurut Sekretaris LSM Riau Madani, Tommy Freddy, dasar gugatan ini karena diketahui PT Chevron membuka pertambangan migasnya di kawasan konservasi Suaka Margasatwa Balai Raja di Kabupaten Bengaklis, Riau.
Pertambangan ini sudah berlangsung sejak tahun 1997 sampai saat ini masih berlangsung. Setidaknya di lokasi hutan margasatwa itu terdapat tiga sumur minyak milik Chevron.
"Dalam operasinya, pihak perusahaan juga membuka jalan poros di tengah kawasan koservasi. Tak cuma itu, mereka juga membelah perbukitan sehingga menjadi datar untuk kepentingan jalan poros tersebut," kata Tommy.
Masih menurut Tommy dalam lembaran gugatannya itu, akibat dari penambangan serta pembukan jalan telah merusak kawasan koservasi Balai Raja. Padahal, sesuai dengan ketentuan, lokasi itu sejak tahun 1986 ditetapkan Kemenhut sebagai kawasan koservasi. Ini diperkuat lagi dengan Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 yang menyebutkan Rencana Tata Ruang Nasional disebutkan kawasan Suaka Margasatwa Balai Raja adalah merupakan salah satu kawasan lindung nasional.
"Yang namanya kawasan konservasi, tidak boleh pinjam pakai untuk pertambangan. Tapi faktanya, kawasan konservasi Balai Raja dijadikan pertambangan migas oleh Chevron. Karenanya kita juga menggugat hal yang sama kepada Kemenhut," kata Tommy.
Sebagaimana diketahui, konservasi Balai Raja pada tahun 1986 luasnya mencapai 18 ribu hektar. Namun dari hasil investagasi WWF Indonesia yang dilakukan pada tahun 2007, kondisinya kian menyempit. Kawasan konservasi hanya tersisa 120 hektar. Ini salah satu faktor mengapa gajah di kawasan tersebut sering terjadi konflik dengan manusia. Humas WWF Indonesia di Riau, Syamsidar pernah menyebutkan, dengan luasan lahan hutan yang hanya tinggal 120 hektar, sangat memungkinkan terjadinya konflik antara gajah dengan manusia. Dan kondisi itu juga mengancam kepunahan gajah di kawasan koservasi tersebut.
"Dari data yang kami dapat, setiap tahun minimal dua ekor gajah mati dengan kondisi yang mengenaskan. Bahkan memasuki triwulan tahun ini (2011-red), sudah ada dua ekor gajah yang mati diduga akibat diracun," terangnya.
Sementara, Communication Specialist Chevron, Jeany Simanjuntak, yang dihubungi detikcom mengaku akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan tim di Riau. "Kami cek dulu ke Riau soal gugatan itu," katanya.
(cha/try)
Gugatan itu didaftrakan LSM Riau Madani ke Pengadilan Negeri (PN) Dumai, dengan nomor gugatan, No18. Pdt-6/20/2/PN-Dum pada 5 April 2012 lalu. Menurut Sekretaris LSM Riau Madani, Tommy Freddy, dasar gugatan ini karena diketahui PT Chevron membuka pertambangan migasnya di kawasan konservasi Suaka Margasatwa Balai Raja di Kabupaten Bengaklis, Riau.
Pertambangan ini sudah berlangsung sejak tahun 1997 sampai saat ini masih berlangsung. Setidaknya di lokasi hutan margasatwa itu terdapat tiga sumur minyak milik Chevron.
"Dalam operasinya, pihak perusahaan juga membuka jalan poros di tengah kawasan koservasi. Tak cuma itu, mereka juga membelah perbukitan sehingga menjadi datar untuk kepentingan jalan poros tersebut," kata Tommy.
Masih menurut Tommy dalam lembaran gugatannya itu, akibat dari penambangan serta pembukan jalan telah merusak kawasan koservasi Balai Raja. Padahal, sesuai dengan ketentuan, lokasi itu sejak tahun 1986 ditetapkan Kemenhut sebagai kawasan koservasi. Ini diperkuat lagi dengan Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 yang menyebutkan Rencana Tata Ruang Nasional disebutkan kawasan Suaka Margasatwa Balai Raja adalah merupakan salah satu kawasan lindung nasional.
"Yang namanya kawasan konservasi, tidak boleh pinjam pakai untuk pertambangan. Tapi faktanya, kawasan konservasi Balai Raja dijadikan pertambangan migas oleh Chevron. Karenanya kita juga menggugat hal yang sama kepada Kemenhut," kata Tommy.
Sebagaimana diketahui, konservasi Balai Raja pada tahun 1986 luasnya mencapai 18 ribu hektar. Namun dari hasil investagasi WWF Indonesia yang dilakukan pada tahun 2007, kondisinya kian menyempit. Kawasan konservasi hanya tersisa 120 hektar. Ini salah satu faktor mengapa gajah di kawasan tersebut sering terjadi konflik dengan manusia. Humas WWF Indonesia di Riau, Syamsidar pernah menyebutkan, dengan luasan lahan hutan yang hanya tinggal 120 hektar, sangat memungkinkan terjadinya konflik antara gajah dengan manusia. Dan kondisi itu juga mengancam kepunahan gajah di kawasan koservasi tersebut.
"Dari data yang kami dapat, setiap tahun minimal dua ekor gajah mati dengan kondisi yang mengenaskan. Bahkan memasuki triwulan tahun ini (2011-red), sudah ada dua ekor gajah yang mati diduga akibat diracun," terangnya.
Sementara, Communication Specialist Chevron, Jeany Simanjuntak, yang dihubungi detikcom mengaku akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan tim di Riau. "Kami cek dulu ke Riau soal gugatan itu," katanya.
(cha/try)