Wednesday 28 November 2012

Dituding Menambang di Lahan Konservasi, PT Chevron Digugat ke Pengadilan

Riau - PT Chevron Pacific Indonesia digugat legal standing oleh aktivis lingkungan di Riau. Perusahaan migas asal Amerika itu dituding membuka ladang minyak di kawasan konservasi.

Gugatan itu didaftrakan LSM Riau Madani ke Pengadilan Negeri (PN) Dumai, dengan nomor gugatan, No18. Pdt-6/20/2/PN-Dum pada 5 April 2012 lalu. Menurut Sekretaris LSM Riau Madani, Tommy Freddy, dasar gugatan ini karena diketahui PT Chevron membuka pertambangan migasnya di kawasan konservasi Suaka Margasatwa Balai Raja di Kabupaten Bengaklis, Riau.

Pertambangan ini sudah berlangsung sejak tahun 1997 sampai saat ini masih berlangsung. Setidaknya di lokasi hutan margasatwa itu terdapat tiga sumur minyak milik Chevron.

"Dalam operasinya, pihak perusahaan juga membuka jalan poros di tengah kawasan koservasi. Tak cuma itu, mereka juga membelah perbukitan sehingga menjadi datar untuk kepentingan jalan poros tersebut," kata Tommy.

Masih menurut Tommy dalam lembaran gugatannya itu, akibat dari penambangan serta pembukan jalan telah merusak kawasan koservasi Balai Raja. Padahal, sesuai dengan ketentuan, lokasi itu sejak tahun 1986 ditetapkan Kemenhut sebagai kawasan koservasi. Ini diperkuat lagi dengan Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 yang menyebutkan Rencana Tata Ruang Nasional disebutkan kawasan Suaka Margasatwa Balai Raja adalah merupakan salah satu kawasan lindung nasional.

"Yang namanya kawasan konservasi, tidak boleh pinjam pakai untuk pertambangan. Tapi faktanya, kawasan konservasi Balai Raja dijadikan pertambangan migas oleh Chevron. Karenanya kita juga menggugat hal yang sama kepada Kemenhut," kata Tommy.

Sebagaimana diketahui, konservasi Balai Raja pada tahun 1986 luasnya mencapai 18 ribu hektar. Namun dari hasil investagasi WWF Indonesia yang dilakukan pada tahun 2007, kondisinya kian menyempit. Kawasan konservasi hanya tersisa 120 hektar. Ini salah satu faktor mengapa gajah di kawasan tersebut sering terjadi konflik dengan manusia. Humas WWF Indonesia di Riau, Syamsidar pernah menyebutkan, dengan luasan lahan hutan yang hanya tinggal 120 hektar, sangat memungkinkan terjadinya konflik antara gajah dengan manusia. Dan kondisi itu juga mengancam kepunahan gajah di kawasan koservasi tersebut.

"Dari data yang kami dapat, setiap tahun minimal dua ekor gajah mati dengan kondisi yang mengenaskan. Bahkan memasuki triwulan tahun ini (2011-red), sudah ada dua ekor gajah yang mati diduga akibat diracun," terangnya.

Sementara, Communication Specialist Chevron, Jeany Simanjuntak, yang dihubungi detikcom mengaku akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan tim di Riau. "Kami cek dulu ke Riau soal gugatan itu," katanya.


(cha/try)

WWF Desak Pemerintah Usut Kematian 12 Ekor Gajah di Sumatera

Pekanbaru - Sepanjang tahun 2012, ada 12 ekor gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Riau dan Aceh mati secara tak wajar. Pemerintah pusat dan daerah diminta serius untuk mengusut kasus tersebut.

Demikian disampaikan Direktur Program Kehutanan, Spesies dan Air Tawar WWF (World Wildlife Fund)-Indonesia, Anwar Purwoto, dalam siaran persnya yang diterima detikcom, Senin (11/6/2012).

Menurutnya, untuk menyelamatkan satwa dilindungi itu, pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi mengusut tuntas kematian gajah yang tak wajar itu. "Kami meminta berbagai pihak meningkatkan efektifitas, intensitas dan luasan cakupan patroli pencegahan konflik, baik yang dilakukan oleh tim khusus maupun yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat di habitat gajah," kata Anwar.

Dalam catatan WWF Indonesia, diketahui populasi gajah Sumatera menurun drastis dalam kurun waktu 4 tahun terakhir. Lembaga Konservasi Dunia (IUCN) menaikkan status keterancaman gajah Sumatera dari 'genting' menjadi 'kritis', hanya selangkah dari status 'punah di alam'.

"Ini merupakah status terburuk dibandingkan subspesies gajah yang lain, baik di Asia maupun Afrika. Saat ini jumlah gajah Sumatera di alam diperkirakan tidak lebih dari 2.400 ekor - 2.800 ekor saja, turun 50 persen dari populasi sebelumnya yaitu 3.000 - 5.000 ekor pada tahun 2007. Hilangnya habitat akibat alih fungsi hutan merupakan penyebab utama penurunan populasi gajah," papar Anwar.

Di Riau, sepanjang Maret-Juni 2012 tercatat 7 kematian gajah di kawasan blok hutan Tesso Nilo. Kasus kematian yang terakhir terjadi di konsesi akasia PT. Riau Andalan Pulp and Paper pada 7 Juni 2012, Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan. Seekor gajah jantan muda ditemukan mati dengan kondisi gading hilang.

"Perambahan di Taman Nasional Tesso Nilo harus ditangani dengan serius dan segera. Jika tidak konflik manusia-gajah akan terus terjadi di kawasan yang dicadangkan menjadi Pusat Konservasi Gajah tersebut," desaknya.

Sementara itu, Manajer Program WWF Indonesia, Suhandri menambahkan, Kementerian Pertanian dan dinas terkait di daerah harus peduli dan mengontrol secara ketat keberadaan industri kelapa sawit dan perizinannya serta implikasinya dengan kawasan konservasi dan keanekaraman hayati.

(cha/try)

Kemenhut Diminta Segera Aktifkan Operasional PT RAPP di Pulau Padang

Pekanbaru - Sejak Januari 2012 lalu, Kemenhut menghentikan operasi PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pulau Padang, Kab Meranti Riau. Berhubung pihak perusahaan telah menyelesaikan tata batas, izin operasionalnya diminta dilanjutkan.

Demikian disampaikan Direktur Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto, rilis yang terima detikcom, Kamis (27/9/2012). Menurut Purwadi, pihak perusahaan telah menyelesaikan tata batas partisipatif di lahan konsesi di Pulau Padang.

Langkah penyelesaian konflik lahan tersebut, lanjut Purwadi, sekaligus bisa menjadi pembuktian bagi RAPP bahwa mereka berkomitmen untuk mengelola kawasan hutan secara berkelanjutan.

"Jika diberikan izin beroperasi, maka RAPP bisa menunjukan bagaimana pengelolaan hutan tanaman yang baik. Jadi masyarakat bisa melihat sendiri dan diharapkan tidak ada lagi penolakan," kata Purwadi.

Kementerian Kehutanan menghentikan operasi RAPP di Pulau Padang, Riau, sejak Januari 2012, karena adanya keberatan dari sejumlah warga. Kemenhut mensyaratkan dilakukan tata batas partisipatif agar RAPP bisa beroperasi kembali di lokasi tersebut.

Purwadi menyatakan, dihentikannya operasional RAPP berarti timbul kerugian karena tertundanya kegiatan penanaman. Hal itu secara tidak langsung juga mempengaruhi pencapaian target penanaman secara nasional.

"Dihentikannya operasional RAPP di Pulau Padang sejatinya adalah preseden buruk untuk investasi di tanah air. Pasalnya, langkah tersebut diambil hanya didasarkan penolakan dari sekelompok orang. Bukan tidak mungkin situasi yang sama bakal dialami oleh perusahaan lain," katanya.

Untuk itu, dia berharap, tata batas partisipatif yang dilakukan bisa memperkuat legalitas RAPP di Pulau Padang. "Kami sangat berharap pemetaan partisipatif yang dilakukan benar-benar berdampak positif. Sehingga ke depan tidak ada lagi penghentian operasional hanya karena ada pihak yang keberatan," katanya.

Sementara itu, secara terpisah Direktur Utama PT RAPP Kusnan Rahmin mengatakan, perusahaan hampir menuntaskan proses tata batas partisipatif di Pulau Padang Riau.

"Tim tata batas telah menyelesaikan sebagian besar proses tata batas atau sekitar 80 persen dari seluruh total area yang akan ditata batas secara partisipatif. Tim tata batas ini didukung oleh perwakilan dari 12 desa yang dibentuk untuk mengakomodir aspirasi penduduk terkait pelaksanaan tata batas partisipatif," jelas Kusnan.

Kusnan Rahmin menambahkan perusahaan telah melakukan program pemberdayaan masyarakat di Pulau Padang dan akan mengembangkan tanaman kehidupan untuk kesejahteraan masyarakat.

(cha/try)

Tuesday 27 November 2012

HEALTHY SEAS, HEALTHY PEOPLE


In 2006, researchers led by CI's Mark Erdmann dove into the coastal waters of Indonesia's Papua provinceand found a wonder world of marine life. Today, the region that Erdmann described as a "species factory" is a new marine protected area (MPA).
The Kaimana community-based Marine Protected Area, a 597,747-hectare coastal zone that is larger than Rhode Island, was formally declared in November 2008 by Indonesian Marine and Fisheries Minister Freddy Numberi. Encompassing pristine coastal waters and scores of local communities of the Kaimana Regency, the MPA is intended to halt destructive fishing practices including the use of bombs and potassium that damaged coral reefs and the fish stocks that lived in them.
"This is a good example for other areas to protect their fish supply, so people no longer have to worry about depleting their main source of food in the future," said Dr. Jatna Supriatna, CI's regional vice president forIndonesia.

The Case for Conservation
A Win-Win
Nature for People's Sake

The Kaimana example also shows how modern conservation is supposed to work.
Erdmann's team of international and local researchers identified a place with unmatched biodiversity – one of the greatest concentrations of fish and corals on Earth, including species previously unknown to science.
Working with local communities and scientists as well as government authorities, CI helped create effective strategies such as MPAs for ensuring that such essential resources will exist in perpetuity for the good of everyone.
The goal of MPAs is sustainable use of marine resources, with increased awareness of how to conserve those resources for present and future benefit. That means balancing the needs of coastal communities with conservation of ecosystems such as coral reefs that are essential habitat for fish, a major protein source and income generator.
Protecting marine ecosystems makes them more resilient to rising sea temperatures and other effects ofclimate change. In addition, helping coastal communities develop alternate sources of conservation-based income – such as ecotourism – provides people with alternatives to depleting the resources at hand.
Recent studies show that protecting such fragile and interconnected ecosystems of coastal landscapes and waters brings a range of economic and social benefits for local populations, including a steady source of food and more job opportunities.

"It's not an either-or situation, but a win-win," said Dr. Leah Bunce Karrer, senior director of CI's Marine Management Area Science (MMAS) program. "Marine ecosystems provide essential resources and services for coastal communities and human societies in general, so keeping them healthy helps everyone."
One study – the first global analysis of the importance of marine resources to people in tropical coastal areas – found that the vast majority of coastal dwellers depend on fishing as a primary source of income, especially in Asia. In the Caribbean and Central America, meanwhile, tourism based on pristine coral reefs is becoming a major economic driver.
The study – conducted by CI, the Global Coral Reef Monitoring Network and the National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) – also confirmed that illegal fishing, overfishing and pollution were the main threats to marine ecosystems.
At the recent World Conservation Congress in Barcelona, Spain, CI and partners released another study that showed how properly planned and managed MPAs provide a holistic approach to conservation that helps coastal communities and the biodiversity on which they depend.
More than 100 experts confirmed the study results, showing how MPAs provide ecological and socio-economic benefits including healthier ecosystems, improved livelihoods, food security and greater environmental awareness, as well as reduced conflicts between communities.
In many cases, communities that traditionally depended on fishing alone found that MPAs offered diversified livelihoods including ecotourism, protected area management and even handicrafts made from plants in mangrove swamps.
Another key finding: Protecting spawning grounds and other vital fish habitat increases fish populations that spill over from no-fishing zones into surrounding areas to provide sustainable catches for local fishermen.

"We're not trying to be preservationists that aim for complete human exclusion," Karrer noted. "We recognize that success depends on conservation that works for species and people."
In Indonesia, local authorities echoed the need for conservation to work for people.
"Through the declaration of this MPA, let's make sure that the development of the MPA will … enhance people's welfare, especially the welfare of traditional fishermen in Kaimana," said Yonathan Ojanggai, Chief of the Mairasi Clan. "If not us, who else would develop Kaimana."

FOR JAKARTA, A GREEN WALL


On the Indonesian island of Java, the people of Jakarta are restoring the forest they need to thrive.
Outside the city, Java’s largest tracts of remaining rainforest are protected in two mountainous national parks: a rich forest ecosystem that provides the primary water catchment for over 20 million people living in five cities, including Jakarta, Indonesia’s bustling capitol.


Forests and Water
In the rainy seasons, the forests of Gunung Gede Pangrango National Park and Gunung Halimun Salak National Park (collectively known as GeDePaHala) provide protection from sudden flooding as the mountains drain into the rivers and creeks around Jakarta. Several of GeDePaHala’s rivers also continue to flow throughout prolonged dry seasons, providing a form of insurance against drought.
GeDePaHala shelters a number of species – such as the silvery Javan gibbon (Hylobates moloch), Javan hawk-eagle (Spizaetus bartelsi) and a small population of Javan leopards (Panthera pardus ssp. melas), all listed as Endangered or Critically Endangered by the IUCN Red List – that are found nowhere else in the world.
But the forests are struggling. In the past few decades, much of Java’s forest has been converted into farmlands and residential areas. Illegal logging continues in the remaining forested areas, much of it carried out by local people simply trying to make a living.
To restore and protect these forests and their benefits to Java’s people, CI-Indonesia is helping to coordinate a large-scale “Green Wall” program designed to protect and restore this vital ecosystem and the direct human benefits it provides.


A Green Wall for the People of Indonesia
Green Wall projects include replanting trees, a tree adoption program, agroforestry, public outreach and community education. It represents individuals, communities, corporations, and a government working together to recover 10,000 hectares (approximately 25,000 acres, larger than the city of Miami, Florida) of degraded land in the mountains of GeDePaHala.
The restored forests will form “green walls” to buffer the protected national park forests in the future, prevent soil erosion and landslides, protect water sources, contribute to alleviating climate change by absorbing carbon dioxide and provide various other benefits, including offering a stronghold for biological diversity.
“This action is urgently needed for our safety and livelihood, particularly those who live in the upstream and downstream area”, says Dr. Bambang Sukmananto, former Director of the Gunung Gede Pangrango National Park. “It is my hope that the initiative could trigger awareness of people living in cities to pay more attention to the conservation of the park,” he adds.


The Pieces of the Puzzle
The Green wall concept combines numerous programs:
  • Working with local communities to reforest degraded areas, creating a “green border” that will help secure the expanded park boundaries from encroachment.
  • Helping communities generate extra income from forest-friendly crops. Based on local input, reforestation plants will be a mixture of forest woods, productive fruits and rare plants.
  • Partnering with religious leaders and Muslim boarding schools to teach conservation of natural resources as divine gifts to be responsibly used for the benefit of current and future generations.
  • Educating including local school children, families, community groups, decision makers and corporate executives at the Bodogol Conservation Education Center, which offers guided nature walks, lectures and training courses, as well as laboratory space and accommodations for visiting researchers.
  • Encouraging local communities to incorporate conservation into their daily lives through films, discussions, interactive games and puppets – using Javan gibbons as the mascot. With partners, CI-Indonesia also operates a small facility that researches gibbon health, behavior and ecology, and reintroduces the animals into the wild.
  • Focusing on the upstream communities, CI-Indonesia complements already-skillful traditional knowledge with modern expertise to encourage better care of the forest.
  • The Green Wall program has also established a tree adoption program that allows individuals and corporations to help refresh the forest on which they all rely.
It is only appropriate that the entire region should come together to create a forest – and water-supply saving – “Green Wall.” As Jatna Supriatna, CI’s Regional Vice President for Indonesia, says, “The entirety of GeDePaHala is our responsibility. We have been using the environmental services such as clean air and water for free.”
Now, the people of Jakarta and the surrounding areas are beginning to return that gift.

BUKU EKOLOGI PAPUA VERSI INDONESIA DILUNCURKAN

“Buku pertama yang membahas ekologi tanah Papua secara komprehensif”

JAKARTA—(05 Juni 2012). Tanah Papua diperkirakan memiliki lebih dari 15.000 jenis tumbuhan berpembuluh, sekitar 2.000 jenis anggrek, lebih dari 100 jenis Rhododendron, dan berbagai jenis pohon yang menghasilkan kayu dengan nilai estetika  dan bernilai ekonomi tinggi.  Demikian pula luar biasanya kekayaan fauna. Burung mendominasi vertebrata Papua;  lebih dari 600 jenis yang tercatat, termasuk 25 jenis burung cenderawasih, tiga jenis kasuari dan kira-kira dua lusin beo, merpati, burung pemangsa dan raja-udang.

Adapun jenis mamalia lebih sedikit, tetapi keberadaan populasi mamalia terus terancam akibat perburuan yang terus berlangsung. Codot, kangguru pohon, possum dan tikus paling terwakili di antara 180 atau lebih jenis yang ada. Ada pula hewan amfibi yang mencakup lebih dari 150 jenis katak, yang sebagian besar masih belum dikenal. Sedangkan reptilia terdiri dari dua jenis buaya, 61 jenis ular, 141 jenis kadal dan 11 jenis biawak. 

PELAJARI:  Ekspedisi Mamberamo

Selain itu, Tanah Papua dihuni oleh sekitar 150 jenis ikan air tawar dan lebih dari 2.250 jenis ikan laut. Jelas bahwa daftar ini belum lengkap, karena beberapa jenis baru terus ditemukan dalam beberapa penelitian terkini. Banyak jenis flora dan fauna  ini  merupakan spesies endemic yang hanya ditemukan di Pulau Papua saja , sehingga pulau yang berada di bagian timur Indonesia ini layak disebut sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. 

Penjelasan tentang hal tersebut terungkap di dalam jilid terakhir Seri Buku Ekologi Indonesia yaitu Ekologi  Papua dalam versi Bahasa Indonesia,  diluncurkan Jum’at (25/5)  oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia(YPOI) bekerjasama dengan  Conservation International Indonesia di kantor Yayasan  Obor Indonesia , di Jakarta. 

LIHAT JUGA: Publikasi CI Indonesia

Buku ini menyajikan paparan lengkap tentang alam asli tanah Papua, dari mulai lingkungan fisik dan geografi, flora dan fauna, ekosistem alami, interaksi manusia dan ekosistem serta upaya konservasi sumber daya alam Papua.  “Ini adalah buku pertama yang membahas ekologi tanah Papua secara komprehensif dan belum pernah ada buku lainnya yang membahas selengkap ini. Oleh karena itu buku ini dapat menjadi literatur utama bagi para peneliti universitas” Kata Ketut Sarjana Putra, Direktur Eksekutif Conservation International (CI) Indonesia.

Selain itu, buku ini sangat bermanfaat sebagai rujukan utama pemerintah Papua dalam menghitung nilai ekonomi kekayaan hayati Papua sehingga kebijakannya tidak menegasikan nilai-nilai lain yang menjamin kelangsungan pembangunan fisik, ekonomi dan sosial di pulau ini.

Tanah Papua merupakan wilayah unik dengan kekayaan alam hayati luar biasa baik di kawasan teresterial, pinggir pantai hingga terumbu karang.  Kekayaan hayati di Tanah Papua merupakan proses warisan alam yang sangat tua dari kawasan bergunung-gunung yang kompleks, hingga kawasan pantai yang  telah memilah penduduk asli yang telah menghuni kawasan tersebut selama sekitar 40 ribu tahun. Hal inilah yang  menjadikan kawasan-kawasan ini memiliki kelompok budaya dan bahasa paling beragam di dunia.

Tidak mengherankan bahwa seorang pakar ilmu alam dan keanekaragaman hayati dari Universitas Harvard, E.O Wilson, sangat mengagumi pulau yang terletak di Indonesia bagian timur ini. “Ukuran pulau yang luas, iklimnya yang konstan dan cocok untuk pertumbuhan vegetasi, topografi yang terjal, dan kedekatannya dengan benua Asia dan Australia membuat pulau ini menjadi pusat tertinggi keanekaragaman  hayati dan manusia.” Demikian kata Wilson, dalam pengantar buku itu.

Buku ini merupakan rangkuman dan terjemahan dua jilid buku versi bahasa Inggris Ecology of Papua yang telah terbit lebih dahulu tahun 2007. Versi dalam bahasa Indonesia setebal 981 halaman ini berisikan kajian literatur terkini yang komprehensif tentang sejarah dan kekayaan alam tanah Papua. 

Melalui dana hibah pemerintah Provinsi Papua (Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga) maka  buku Ekologi Papua berbahasa Indonesia dapat diterbitkan bersama Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Buku ini merupakan catatan penting alam Papua yang dapat menjadi rujukan para akademisi, praktisi lapangan, peneliti muda, pelajar, pegiat konservasi alam. Bagi para pengambil kebijakan di daerah informasi dalam buku ini dapat menjadi acuan dalam mempertimbangkan berbagai keputusan dalam pengambilan kebijakan. 

PROGRAM KEMITRAAN PEMBANGUNAN LANSEKAP BERKELANJUTAN (SLP)

Tantangan global --seperti perubahan iklim, persaingan untuk mendapatkan lahan pertanian dan akses air bersih--mendorong sektor swasta, pemerintah dan LSM untuk bekerjasama menemukan solusi menguntungkan secara ekonomi tanpa mengorbankan lingkungan.

Program Kemitraan Pembangunan Lansekap Berkelanjutan  [Sustainable Landscapes Partnership-SLP] adalah sebuah kemitraan inovatif  yang menghimpun kalangan pemerintah, dunia usaha (swasta) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk mengidentifikasi, mengembangkan dan mencari solusi baru dalam mencegah pengrusakan hutan dan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui pengembangan model-model usaha beremisi rendah karbon.
Para anggota dan pendiri SLP adalah Conservation International, the US Agency for International Development (USAID) and the Walton Family Foundation yang akan memusatkan perhatiannya pada bentang alam kabupaten terpilih.
LIHAT JUGA:  Cara Seleksi Program Kemitraan Pembangunan Landsekap Berkelanjutan (PDF 300 KB)

Setiap bentang alam  yang dipilih melalui seleksi,  berpotensi untuk program REDD+ -- Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan plus konservasi-- pengelolaan hutan berkelanjutan dan peningkatan cadangan karbon hutan. Selain itu peluang usaha beremisi karbon rendah akan dikembangkan di kawasan yang diseleksi dengan tujuan pengurangan 50 persen potensi emisi CO2 dari penggunaan lahan dengan cara mengubah pendekatan investasi dalam jangka  lima tahun ke depan, disamping juga akan mempertahankan keunikan keragaman hayati Indonesia.

Program percontohan pertama akan diluncurkan di  tingkat kebupaten yang memiliki nilai konservasi tinggi. Indonesia merupakan salah negara dengan emisi GRK terbesar di dunia yang diakibatkan pembukaan lahan dan kebakaran hutan. 
GRK Indonesia terutama berasal dari lahan gambut serta pengrusakan dan pengurangan hutan alam akibat alih fungsi lahan besar-besaran ke berbagai komoditi seperti perkebunan sawit dan industri bubur kertas. Menyikapi perkembangan ini, pemerintah Indonesia memaklumkan niatnya untuk menurunkan emisi GRK-nya pada dekade mendatang  sebanyak 26% pada tahun 2020, bahkan akan mencapai lebih dari 41% --jika mendapat bantuan internasional-- sambil tetap mempertahankan pertumbuhan ekonominya pada 7%  pertahun.

Program ini terlebih dahulu dimulai dari pembentukan Associate Committee (AC)  yang terdiri dari perusahaan-perusahaan swasta [lokal, nasional dan internasional] yang akan rekomendasi investasi penurunan emisi yang spesifik, yang menggabungkan trend dan tindakan terbaik yang berskala dunia, sehingga SLP  dapat menjadi proyek-proyek yang dibutuhkan oleh pasar.

LEBIH LANJUT:  Lembar Fakta tentang SLP (PDF 509 KB)

Pecinta Hewan Wajib Liburan di 8 Tempat Ini



Jakarta - Mengaku pecinta hewan? Mungkin Anda bosan berlibur di safari atau kebun binatang. Anda bisa mencoba aktivitas yang lebih ekstrem bersama hewan-hewan keren di seluruh dunia. Mau tahu apa saja, yuk disimak!


Beberapa pecinta binatang, mungkin punya keinginan untuk bertualang bersama hewan liar. Habitat hewan yang alami bisa jadi salah satu daya tarik traveler. Di sana Anda akan merasakan langsung berada di tengah alam liar yang cantik, indah, dan masih alami. 



Berikut kegiatan liburan nan seru untuk pecinta hewan versi All Womens Talk, Senin (26/11/2012):



1. Dog Sledding dengan di Lapland, Swedia



Berputar di atas salju yang dingin menggunakan kereta anjing, sering Anda lihat di film-film atau kartun. Akan tetapi, sebenarnya Anda juga bisa menikmati sensasi menaiki kereta yang ditarik oleh segerombolan anjing husky ini.



Ya, Anda bisa datang ke Lapland di Swedia. Meski telinga dan hidung terasa membeku karena dingin yang menusuk, perjalanan Anda bersama anjing-anjing husky tetap seru.



Sekitar 12 anjing husky akan menarik kereta yang Anda naiki. Di daerah Lapland juga terdapat banyak operator perjalanan yang menawarkan berbagai kegiatan bersama anjing husky. Tidak sekadar menikmati tarikannya, di sini traveler juga bisa mengunjungi kandang husky dan bermain bersama.



2. Menjelajah Kandalama di Sri Lanka



Danau Kandalama di Sri Lanka, bisa jadi destinasi pilihan para pecinta hewan. Panorama alam nan hijau dan subur semakin sempurna dengan berbagai macam satwa liar yang hidup dalam habitat ini. 



Keghidupan alam liar nan eksotis tersaji di setiap pelosok daerah ini. Di sini, wisatawan bisa melihat langsung tingkah laku lucu hewan, seperti lutung dan monyet liar. Mereka bebas berayun dari pohon yang satu ke pohon lainnya.



Sadar memiliki potensi wisata, daerah ini pun terkenal sebagai dengan ekowisatanya. Ada cukup banyak hotel yang menyediakan tur untuk mengelilingi kawasan Kandalama. Tidak hanya dengan trekking, bila merasa lelah traveler bisa menunggangi kuda atau gajah.



3. Mencari harimau di India



Ranthambore National Park berada di Rajasthan, India pasti masuk dalam jadwal perjalanan para traveler pecinta hewan. Di taman nasional ini Anda bisa bertualang menikmati alam bersama satwa liar.



Ya, Ranthambore dihuni oleh babi hutan, beruang, dan macan tutul. Perlu Anda ketahui kalau populasi terbesar harimau ada di India dan salah satunya adalah taman ini.



Negara Bollywood ini sangat bangga bisa melestarikan dan melindungi harimau. Di tempat ini juga dengan tegas mengambil langkah untuk menghapus perburuan si kucing besar ini. Berlibur ke negara ini, jangan lewatkan berkunjung ke konservasi harimau. Pastikan, Anda bisa melihat hewan ganas ini hidup di alam liar.



4. Berlayar di Kepulauan Galapagos



Kepualauan Galapagos menjadi situs warisan dunia UNESCO yang berada di lepas pantai Ekuador. Kepulauan ini pun terkenal sebagai rumah untuk beberapa spesies unik serta kehidupan laut yang cantik.



Di pulau-pulau yang ada di sini, juga terdapat koloni kura-kura raksasa dan penguin. Wisatawan juga bisa melihat kawanan elang dan burung tropis lainnya terbang di langit Galapagos. Suasana ini tentunya sangat menyenangkan untuk para pecinta alam dan hewan.



Cara terbaik untuk meenikmati semua keindahan ini adalah dengan berlayar. Anda bisa menggunakan kapal pesiar atau kapal kecil yang siap dan kuat membawa Anda keliling pulau. Jangan terpana dengan keindahan alamnya, bisa-bisa Anda lupa mengabadikan semua panorama cantiknya melalui jepretan kamera.



5. Berenang dengan lumba-lumba di Bahama



Salah satu hewan liar yang seru diajak bermain adalah lumba-lumba. Berenang bersama ikan mama lia ini, jadi kegiatan yang sangat asyik. Lumba-lumba secara alami merupakan makhluk yang lucu dan suka berinteraksi dengan manusia.



Di seluruh dunia sebenarnya ada banyak tempat asyik untuk berenang dan bermain bersama lumba-lumba. Salah satu yang jadi incaran traveler adalah di laut Bahama. Di sini airnya hangat. Namun, buat traveler yang ada di Indonesia bisa berlibur ke Pantai Lovina, Bali. Di sini traveler juga bisa berbenang dan berinteraksi dengan lumba-lumba.



6. Jadi relawan di Elephant Sanctuary di Thailand



Liburan sambil bekerja, siapa takut! Buat Anda yang suka dengan binatang khususnya gajah bisa mencoba liburan menjadi relawan di tempoat pelestarian gajah. Thailand memang menjadi tempat suci untuk para gajah.



Di Thailand Utara menjadi tempat penyelamatan untuk gajah-gajah yang dianiaya dan memberi perlindungan. Para traveler bisa ikut membantu perawatan gajah dengan biaya operasional dari Elephant Sanctuary. 



Wisatawan akan diajarkan dan mendapat kesempatan belajar tentang perawatan gajah-gajah tersebut. Serunya lagi, pengunjung bisa mandi, makan, dan bermain dengan bayi gajah.



7. Datang ke peternakan domba di Skotlandia



Domba, hewan lucu yang satu ini punya daya pikat melalui bulu-bulunya yang ikal dan putih. Tertarik dengan hewan yang satu ini? Cobalah datang ke Scottish Wool Centre di Loch Lomond dan Trossachs National Park, Skotlandia.



Wisatawan yang datang akan diperlihatkan bagaimana cara mencukur sampai memintal benang wol yang berasal dari bulu domba. Seperti di dongeng-dongeng, traveler yang datang kedua tempat ini bisa melihat anjing gembala dan bebek-bebek yang lucu.



Belajar mengenal varietas domba, juga bisa Anda lakukan. Buat urusan perut, Anda bisa mencicipi makanan tradisional Skotlandia, seperti Haggis yang terbuat dari jeroan domba.



8. Bermain dengan orangutan di Tanjung Puting, Indonesia



Alam Borneo tak mau kalah dengan destinasi lainnya. Bertempat di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, Anda bisa bertemu dan bermain bersama orangutan Kalimantan. 



Hutan rimba yang masih alami akan menantang adrenalin Anda. Tanjung Puting menjadi lokasi pertama di Indonesia sebagai pusat rehabilitasi orangutan. Orangutan tersebut memiliki ukuran yang beragam, Anda pun bisa menggendong bayi-bayinya yang lucu dan berinteraksi dengan mereka. Tak hanya itu, Anda bisa melihat tingkah laku satwa ini saat makan atau pun bergelantungan di pohon-pohon yang tinggi menjulang.



Para pecinta orangutan bisa menjelajahi Sungai Sekonyer di dalam taman nasional ini. Di kiri kanan sungainya, ada hutan rimba yang sangat menakjubkan. Tak heran, Kalimantan layak disebut sebagai paru-paru dunia karena lebatnya hutan-hutan. Siapkan kamera, karena pemandangan seperti ini akan jarang ditemukan. Di pinggir Sungai Sekonyer juga terdapat beberapa penginapan dan homestay.

Saturday 24 November 2012

Desak 5 Rekannya Dibebaskan, Ribuan Warga Batang Geruduk Mapolda Jateng

Semarang - Ribuan warga Kabupaten Batang berunjuk rasa besar-besaran. Mereka menuntut dibebaskannya 5 warga Batang yang ditahan Polda Jateng dan menolak pembangunan PLTU Batang.

Dengan membawa karangan bunga besar khas lelayu yang bertuliskan 'Turut berduka cita bagi matinya keadilan untuk lima warga batang' dan beberapa patok kayu, awalnya massa berjalan dari Taman KB menuju gedung DPRD Jateng, Jalan Pahlawan, Rabu (7/11/2012). Kemudian mereka menuju Mapolda Jateng.

Hariyanto (40), warga Desa Karanggeneng, Batang mengaku khawatir dengan efek negatif PLTU. Karena itu, ia tidak rela PLTU dibangun di daerah sekitarnya. Meski diintimidasi, Hariyanto bergeming.

"Kami menyebut tukang intimidasi itu Grandong. Tanah saya subur, dibilang gersang. Itu kebohongan," tutur Hariyanto.

Bentuk intimidasi lainnya juga terjadi pada insiden tanggal 29 September lalu di sekitar lokasi proyek pembangunan PLTU yang menyebabkan 5 warga Batang saat ini mendekam di Polda. Menurut Haryanto, ada kekerasan saat itu, tapi bukan warga pelakunya.

"Yang bawa batu saat itu para Grandong itu sendiri, tapi malah lima warga kami yang ditahan," jelasnya.

Lima warga Batang ditangkap karena diduga melakukan pengeroyokan, perampasan, pencurian, dan penyanderaan kepada investor asal Jepang yang datang melihat lokasi pembangunan PLTU Batang. Karena banyak warga yang mulai berkumpul, salah satu warga mengamankan orang Jepang tersebut ke rumahnya. Setelah itu aparat kepolisian datang menjemput warga Jepang tersebut atas adanya laporan penyanderaan. Saat proses penjemputan, terjadi bentrok antar polisi dan warga yang menyebkan satu mobil rusak.

"Lima warga dibawa ke Polres Batang lalu dibawa langsung ke Polda Jateng," tandas Hariyanto.

PLTU tersebut rencananya akan dibangun di Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban. Padahal kawasan tersebut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional Lampiran VIII Nomor Urut 313 dan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029 telah ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Laut Daerah. Selain itu PLTU ternyata juga mengenai lokasi di tiga desa yang merupakan segitiga emas yaitu Ujung Negoro, Ponowareng dan Karanggeneng.

"Jika pemerintah dan investor tetap bersikeras melanjutkan pembangunan PLTU Batang, tidak hanya memicu dampak-dampak lingkungan dan sosial ekonomi, tapi juga mengancam tak terwujudnya komitmen Presiden SBY untuk mengurangi emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim 2020. Karena itu kami menolak rencana pembangunan PLTU raksasa itu untuk mendukung komitmen SBY," tandas Arif Fiyanto dari Greenpeace Indonesia.

Menanggapi aksi unjuk rasa tersebut, anggota Komisi B DPRD Jateng, Wahid Ahmadi berjanji akan memantau dan membicarakan terkait pembangunan PLTU agar tidak dibangun jika merugikan rakyat.

"Soal pembangunan PLTU itu kompleks, nanti akan memantau dan memperbincangkannya. Jangan sampai pembangunan yangg besar justru merugikan rakyat," tegas Wahid saat menemui demonstran.

Massa yang terdiri dari anak-anak hingga orang tua tersebut, melanjutkan aksinya ke Mapolda Jateng yang terletak di ujung Jalan Pahlawan. Aparat kepolisian pun terlihat berjaga dengan atribut lengkap.

Aksi tersebut sempat membuat arus lalu lintas dari Jalan Siranda menuju Simpang lima ditutup dan dialihkan menjadi satu jalur.

(alg/try)

Friday 23 November 2012

Wergan Jawa = Elang Jawa

Wergan Jawa (bahasa Latin: Alcippe pyrrhoptera) adalah spesies burung dari keluarga Timaliidae, dari genus Alcippe. Burung ini merupakan jenis burung pemakan serangga, beberapa buah-buahan yang memiliki habitat di hutan, pinggir hutan, gunung. tersebar diatas ketinggian 1.000 m dpl. (wikipedia)

Burung ini endemik pulau jawa. Penyebaran burung ini hanya di Jawa Barat dan Jawa Tengah terbatas pada daerah pegunungan. Tetapi karena kekurangan data, IUCN menetapkan spesies ini ke dalam kategori LC (Least Concern). Kategori yang kurang relevan yang seharusnya diberikan pada spesies endemik yang habitatnya terancam ini.

Dalam buku Mc Kinnon disebutkan bahwa perjumpaan burung ini sangat jarang dan sangat sulit. Bisa dikatakan frekuensi perjumpaan sangat jarang. Hal itu yang membuat IUCN menetapkan burung ini masuk kategori LC. Alangkah butuhnya penelitian lebih lanjut terhadap burung langka dan endemik ini, dalam rangka meningkatkan status di peraturan perundang-undangan dan juga peraturan internasional.

Wednesday 21 November 2012

Bali Birdwatching Race 2012

 Bali Birdwatching Race 2012 (BBR 2012) merupakan kegiatan pengamatan burung  yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Biologi (HIMABIO) FMIPA Universitas Udayana. Kegiatan ini merupakan kegiatan tahunan yang mengikutsertakan Siswa-siswi SMA Negeri/Swasta, Universitas dan Kelompok Pecinta Burung se-Bali, Jawa dan Nusa Tenggara.
Kegiatan BBR 2012 diadakan bentuk lomba pengamatan burung sekaligus konservasi burung, karena dalam kegiatan ini pengamatan dilakukan tanpa mengusik dan merusak keberadaan burung tersebut pada daerah atau habitat aslinya. Kegiatan ini juga dapat dikategorikan sebagai  olah raga karena aktivitas ini memadukan teknik identifikasi burung dengan teknik pengamatan di alam bebas yang penuh dengan tantangan secara fisik. Kegiatan ini mengajak peserta untuk lebih dekat dengan alam dan mengenal berbagai populasi burung yang ada.

Pengamatan  BBR 2012 akan diselenggarakan di Balai Taman Nasional Bali Barat, Jalan Raya Cekik Gilimanuk Jembrana-Bali pada 7 Desember – 9 Desember 2012. Taman Nasional Bali Barat merupakan taman nasional yang memiliki empat jenis ekosistem yaitu ekosistem hutan hujan, ekosistem savana, ekosistem hutan musim dan ekosistem mangrove. Masing –masing ekosistem memiliki berbagai keanekaragaman jenis burung yang melimpah.
       Melalui pengamatan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian pelajar, mahasiswa dan masyarakat terhadap lingkungan khususnya konservasi burung. Belakangan ini fenomena perdagangan burung dan penembakan burung secara liar sangat marak di masyarakat. Padahal, Indonesia sendiri  merupakan negara urutan kelima yang memiliki keanekaragaman jenis burung sebanyak 1.539 jenis. Indonesia juga memiliki burung endemik terbanyak di dunia yaitu 381 jenis. Pulau Bali memiliki beranekaragam jenis burung baik burung yang dilindungi oleh Undang-Undang maupun yang belum dilindungi oleh Undang-Undang Penertiban Perburuan dan Perlindungan Satwa Liar no 22 tahun 1992 di daerah Bali. Jalak Bali (Leucopsar rotchildi) merupakan salah satu burung endemik Pulau Bali yang kini terancam keberadaanya.

Info lebih lanjut disini.

Menhut: Konservasi Bukan Hanya Tanggung Jawab Pemerintah

WAY KAMBAS, KOMPAS.com - Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menegaskan, masalah konservasi satwa di Indonesia bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Keterlibatan semua pihak menjadikan program pelestarian akan dapat optimal.

"Semua pihak, termasuk masyarakat, diharapkan punya kepedulian akan masalah konservasi demi lestarinya satwa dan lingkungan," kata Zulkifli saat peletakan batu pertama pembangunan Rumah Sakit Gajah di Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur, Provinsi Lampung, Selasa (31/1/2012).

RS Gajah tersebut dibangun atas kolaborasi tiga pihak, yakni Lembaga Konservasi di luar habitat Taman Safari Indonesia (TSI) Bogor, Australia Zoo, dan Kementerian Kehutanan.
"Taman Nasional Way Kambas adalah aset luar biasa Kabupaten Lampung Timur, sehingga pemerintah daerah dan masyarakatnya mesti ikut mendukung program-program konservasi," ujar Zulkifli.

Menhut menegaskan, bahwa dengan keberadaan RS Gajah itu nantinya, selain untuk konservasi dan penelitian dengan fokus gajah, juga bisa dimanfaatkan bagi satwa lainnya.

"Di sini ada Gajah Sumatera, Harimau Sumatera dan juga Badak Sumatera, serta satwa lainnya yang khas, sehingga bila ada satwa yang mengalami masalah kesehatan bisa dirujuk," katanya.

Direktur Lembaga Konservasi "eks-situ" Taman Safari Indonesia (TSI) Bogor Tony Sumampau dalam laporannya menyatakan, dengan mulai dibangunnya sarana konservasi gajah pertama di Asia, diharapkan di tempat itu akan menjadi pusat konservasi gajah terbesar di dunia. Menurut dia, di Florida, Amerika Serikat, tepat di Polk County, terdapat pusat konservasi gajah (CEC) yang dibangun "Ringling Brother Circus", yang luasnya hanya 80 hektare.

"Di Pusat Konservasi Gajah Way Kambas ini nantinya akan terdiri atas RS Gajah, rumah mahout (pawang), sarana air bersih dan tempat minum gajah, tempat tambatan, data base, serta mengikutsertakan masyarakat sekitar," katanya.

RS Gajah yang dialokasikan pada lahan seluas 100 hektare itu, adalah bagian dari 400 hektare Pusat Konservasi Gajah (PKG) di Way Kambas.

Kaldera Gunung Batur Dikukuhkan dalam Jaringan Geopark Global





Bangli-Baru-baru ini, kaldera Gunung Batur di Kabupaten Bangli, Bali, disahkan menjadi bagian dari Global Geopark Network (GGN) UNESCO. Kemarin, Menparekraf Mari Elka Pangestupun mengukuhkan keberhasilan ini di Bangli.


Hadirnya kaldera Gunung Batur sebagai bagian dari GGN UNESCO menjadikan Indonesia anggota ke-89 dari 90 GGN yang tersebar di 27 negara. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu, pun menyambut baik keberhasilan ini.

"Keanggotaan ini memiliki arti penting karena untuk tergabung dalam anggota JGG prosesnya panjang dan harus melalui persyaratan yang ketat. Kita telah melakukan prosesnya sejak 2008 dan baru pada tahun ini Indonesia berhasil mendaftarkan Geopark Nasional Kaldera Batur menjadi salah satu dari 90 JGG,” jelas Mari Pangestu saat pengukuhan Batur Global Geopark sebagai anggota JGG di Lapangan Midita Kab. Bangli, Bali, dalam rilis yang diterima detikTravel, Minggu (18/11/2012).

Kesuksesan Batur Global Geopark, nama baru kaldera ini sekarang, diharapkan dapat menjadi contoh dan penyemangat untuk geopark lain di Indonesia yang ingin bergabung dalam GGN. Tujuan pembangunan geopark berpilar pada tiga sasaran utama yaitu konservasi, edukasi dan penumbuhan nilai ekonomi lokal melalui pemanfaatan pariwisata.

Tak sampai di situ, Indonesia juga bertekad membangun geopark di beberapa tempat sekaligus seperti di Provinsi Sumatera Utara (Geopark Toba), Jambi (Geopark Merangin), DIY-Jawa Tengah-Jawa Timur (Geopark Gunung Sewu, termasuk Geo-area Pacitan yang sudah ditetapkan menjadi Geopark Nasional Pacitan), Nusa Tenggara Barat (Geopark Lombok, termasuk Geo-area Rinjani) dan Papua Barat (Geopark Raja Ampat).

"Untuk mewujudkannya itu diperlukan kerjasama antarpemangku kepentingan yang akan mampu mewujudkan geopark yang tersebar di seluruh Indonesia untuk menjadi anggota JGG UNESCO," kata Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Kemenparekraf, Firmansyah Rahim, dalam rilis tersebut.

Selain Menparekraf, pengukuhan Batur Global Geopark juga dihadiri oleh Menteri ESDM Jero Wacik. Rencananya, akan dibuat Komite Nasional Geopark yang diprakarsai oleh Kemenparekraf, Kementerian ESDM dan Kemendikbud melalui Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU)

Harimau Sumatera di Medan Kembali Lahirkan 3 Anak


Medan - Seekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Margasatwa Medan (TMM) kembali melahirkan tiga ekor anak. Kelahiran ini membuat keberadaan harimau di sana surplus, yakni sembilan ekor.

Hingga, Selasa (13/11/2012) harimau betina yang diberi nama si Manis, masih ditempatkan di ruangan khusus yang disebut ruangan preventif bersama ketiga anaknya. Dia mengaum kuat jika ada manusia yang mendekat ke kandang itu.

Kepala Urusan Kesehatan Hewan dan Konservasi Taman Margasatwa Medan, Sucitrawan, menyatakan pihaknya masih terus memonitoring kondisi kesehatan ketiga bayi harimau dan induknya.

"Sekarang ini kita terus pantau kondisi ketiga bayi ini. Dua di antaranya diketahui jenis kelaminnya jantan, namun yang seekor lagi belum bisa dipastikan," kata Sucitrawan kepada wartawan di Medan Zoo, di Simalingkar B, Medan.

Ketiga bayi harimau itu lahir pada 18 Oktober 2012. Induk jantannya bernama Anhar, harimau yang lahir di TMM 14 tahun silam, sedangkan si Manis merupakan hasil tangkapan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumut. Bagi si Manis, yang kini berusia 13 tahun, ini merupakan kali ketiga dia melahirkan.

Si Manis melahirkan pertama sekali pada Oktober 2009, namun dua ekor anak harimau itu mati. Kemungkinan karena belum mahir menjaga anak-anaknya mengingat itu merupakan pengalaman pertama. Berikutnya, si Manis melahirkan tiga anak pada 24 Juli 2011. Ketiga anak itu kini masih berada di TMM.

Rutinnya si Manis melahirkan, tidak lepas dari suplai makanan yang cukup dan pemeliharaan yang baik. Keberhasilan konservasi harimau ini juga menjadi modal besar TMM untuk menambah koleksinya. Jika masanya sudah pas, harimau itu bisa dibarter dengan binatang lainnya dari taman margasatwa lain, dan harimau sumatera biasanya lebih bernilai dibanding binatang yang lain karena sangat langka.

Bebas! Dokjali Si Elang Jawa Dilepas di Lereng Gunung Slamet

Banyumas - Cuaca cerah di lereng Gunung Slamet mendukung pelepasan Dokjali, seekor Elang Jawa Indonesia (Nisaetus bartelsi), di hulu sungai Banjaran lerengd Selatan Gunung Slamet, Banyumas, Jawa Tengah. Pelepasan dilakukan oleh Tim dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Suaka Elang, Biodiversity Society Banyumas, masyarakat Desa Melung dan PT Indonesia Power.

Elang jawa tersebut merupakan hasil sitaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat dari pemburu dan selanjutnya dibawa ke Suaka Elang selama empat tahun untuk menjalani rehabilitasi.

Sebelum hewan langka itu dilepasliarkan, sempat dibangun kandang habituasi yang di bangun di dekat bukit Cendana lereng Gunung Slamet. Kandang habituasi merupakan kandang untuk penyesuaian sebelum elang tersebut dilepasliarkan.

Sebelum menjalani rehabilitasi di Suaka Elang, elang Jawa ini sempat ditempatkan di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Gadog, Bogor, Jabar, sekitar dua tahun. Saat ini, usia elang diperkirakan mencapai empat hingga lima tahun.

Lika liku penyelamatan, perawatan di Suaka Elang sampai pelepasliarannya di kawasan sekitar hulu Sungai Banjaran lereng Selatan Gunung Slamet tidak lepas dari dukungan banyak pihak.

"Si Dokjali ini diadopsi dan didanai oleh Indonesia Power. Memang lebih baik dana BUMN itu digunakan untuk konservasi lingkungan, atau pemberdayaan ekonomi riil masyarakat sekitar," kata Koordinator Biodiversity Society Banyumas, Timur Sumardiyanto, kepada wartawan, Rabu (14/11/2012).

Menurut dia, selain elang jawa, spesies raptor juga banyak terdapat di Gunung Slamet. “Ada elang hitam, bido, ular dan raptor migrant lainnya terlihat di gunung slamet,” katanya.

Dia menjelaskan, elang Jawa yang hampir punah ini merupakan endemik Pulau Jawa. Keberadaanya terus berkurang karena perburuan liar dan semakin sempitnya habitat burung ini. Beruntung masih banyak pihak yang perduli dengan konservasi lingkungan.

Sementara itu, Wakil Bupati Banyumas Ahmad Husain, saat ditemui usai pelepasliaran elang jawa, mengatakan, pihaknya menyambut baik langkah yang dilakukan Suaka Elang, Biodiversity Society, BKSDA dan PT Indonesia Power.

"Burung ini juga disimbolkan menjadi garuda, lambang negara kita, namun burungnya semakin lama semakin habis. Oleh sebab itu, kita harus menjaga kelestariannya dan Pemerintah Kabupaten Banyumas akan mengusulkan paling tidak berupa Perbup (peraturan bupati) yang kemudian bisa dijadikan peraturan derah (Perda), khususnya tentang perlindungan satwa-satwa yang dilindungi," katanya.

Menurut dia, Gunung Slamet merupakan salah satu habitat elang jawa sehingga dipilih sebagai lokasi pelepasliaran burung ini. Sementara di Jawa Tengah sendiri penyebaran elang jawa hanya tinggal di Gunung Slamet, Merapi, Merbabu, Dieng, serta hutan di Pemalang.

Alam Liar Kalimantan, Diterkam Buaya atau Dicakar Orangutan

Orangutan di Taman Nasional Tanjung Puting

Tanjung Puting - Bertemu orangutan di kebun binatang atau Taman Safari, itu sudah lazim. Namun bila bertemu orangutan di habitat aslinya di pedalaman Kalimantan, siap-siaplah untuk petualangan seru dan menegangkan.

Rute menuju Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah memang terbilang jauh. Perahu sederhana membelah sungai yang menjorok ke tengah hutan. Dijamin ini akan membuat sensasi tersendiri.

Apalagi, trip ini di bawah intaian mata buaya liar yang ganas dan tidak sungkan menerkam manusia. Alhasil, mengikuti petunjuk guide lokal merupakan cara paling cepat untuk beradaptasi.

"Jangan pernah menyentuh air dengan tangan apalagi sampai mandi di sungai. Baunya itu menggiring buaya ke sini," kata seorang warga lokal Matholah saat detikTravek menembus hutan di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, minggu lalu.

Matholah yang sudah mengenal karakter para buaya dengan seksama menambahkan, banyak wisatawan terutama turis asing yang bandel. Ia sempat menyaksikan seorang turis diterkam buaya karena mandi di sungai.

"Itu sekitar 2 hingga 3 tahun lalu. Sudah saya bilang, dia tidak percaya. Akhirnya meninggal karena dimakan buaya," tukas Matholah.

Berbeda dengan Matholah, seorang manajer salah satu pondok konservasi orangutan menceritakan bagaimana seorang wisatawan dicabik-cabik orangutan karena melawan.

"Kejadiannya baru 3 hari lalu. Ada tamu yang tertinggal rombongan di jalan setapak. Dia dihampiri orangutan dan kameranya ditarik. Orangnya tidak mau kameranya diambil orangutan. Orangnya diamuk, dicakar-cakar hingga meninggal," kata Satri, Manajer Pondok Tanggui, sebuah taman penangkaran yang dihuni sekitar 35 ekor orangutan.

Namun cerita seram untuk bertemu orangutan di habitat aslinya, tidak menyurutkan kedatangan turis. Para wisatawan biasanya datang berkelompok atau hanya sepasang. Bila berkelompok, dapat menginap di satu-satunya penginapan di tengah hutan itu atau menginap di kota terdekat yakni di Pangkalan Bun.

"Pangkalan Bun kesini naik speedboat kecil yang menggunakan mesin tempel sekitar 1,5 jam. Pergi pagi, pulang setelah melihat orangutan diberi makan jam 14.00 WIB," imbuh Satri.

Sementara untuk turis asing yang berpasangan didominasi oleh turis lanjut usia di atas 60 tahun. Mereka menyewa kapal klotok, kapal kayu dengan ukuran 15x6 meter. Di kapal ini, para turis tersebut akan tinggal selama menikmati hutan habitat orangutan, biasanya 3 hingga 4 hari. Paket liburan di kapal kayu ini sekitar Rp 1,5 juta/malam.

"Mereka menikmati hutan yang sepi dan tidak ada sinyal telepon. Hanya duduk-duduk di kapal. Kalau waktu memberi makan orangutan, mereka turun dan melihat. Logistik sudah disiapkan sejak berangkat," ucapnya.

Pengalaman seru tersebut akan terbayar lunas saat melihat langsung dengan orangutan. Wajah lucu orangutan dan sikapnya yang unik menjadi sesuatu yang sulit dipadankan dengan pengalaman yang lain. Orangutan hanya hidup di Kalimantan dan Sumatera, tidak ada di tempat lain.

Para orangutan ini tampil lebih alamiah di sebuah bidang kayu 3x3 meter yang disiapkan sebagai meja makan. Sementar turis mengelilinginya dan siap-siap mengabadikan dengan kamera.

Sebelumnya, seorang tengkalang akan membawa tumpukan buah dan ditaruh di atas meja kayu itu. Tengkalang merupakan sebutan warga setempat bagi penjaga dan pemberi makan orangutan. Paling sering orangutan diberi pisang dan nangka.

"Khusus untuk yang masih bayi, kami berikan susu juga. Kalau orangutan sakit, mereka akan datang ke pos, wajahnya pucat dan bibirnya merah-merah. Fecesnya juga tidak seperti biasanya. Ada seorang dokter hewan yang memantau," ucap Satri.

Hanya saja, perjalanan untuk mencapai tempat ini relatif tidak murah. Dari Jakarta, biasanya para turis menggunakan pesawat langsung ke Pangkalan Bun, kota terdekat daeri taman nasional. Dari Pangkalan Bun harus menyewa speedboat mesin tempel ukuran 5 orang. Tarifnya Rp 500.000/kapal.

Kalau jumlah rombongan lebih besar, mereka dapat menyewa perahu klotok dengan tarif Rp 1,5 juta sudah termasuk menginap di kapal dan makan. Kapal ini bisa memuat hingga 15-an orang. Hanya ada sebuah resor yang disewakan di kawasan taman nasional ini.

"Bagaimanapun ini pengalaman paling menarik dan menantang," ucap seorang wisatawan lokal, Heru.